Pada suatu hari,
Si kancil berjumpa buaya.
Buaya jahat!
Namun bodoh.
Sedang kancil, pencuri timun ulung.
Lalu apa?
Tentu kau tahu kisahnya Bung!
Tentu kau ingat lanjutannya!
Tentu kau hafal!
Lalu bagaimana dengan ceritaku?
Aku!!!
Demi
rupiah nominal seribu~
Aku gemulai menarik hati.
Selendang ini saksiku, gus!
Bahwa ketir peluh ini,
hanya
untuk buah rahimku.
Sedang ‘jalang’ menempel di dahiku.
Anak-anakku Pak!
Lihat perut buncitnya itu!
Sementara mulutnya?
Menganga sedari malam.
Ia ingin diberi nasi.
Hanya dari tarian-tarian ini.
Tentu ini namanya nestapa.
Yang setiap hari kau saksikan semua.
Di layar yang kami tak punya.
Kau hafal semuanya bukan?
Kau hafal lanjutannya!
Satu-persatu:
MATI!
Mampus dimakan lapar!
Begitupun aku yang harus rela dianggap kotor.
Sementara di pengeras suara itu...
Berkoarlah pria berpeci.
Dengan jas harga jutaan.
“Kamilah Sang Pembaharu itu!”
“Kamilah yang tuntaskan sengsara!”
LALU APA KAMI INI?
Bukti?
Atau angin yang tak sengaja semilir?
Menepis setengah pundakmu, Pak?
Hahaha.
Salah besar. BESAR.
Hanyalah
dianggap angin lalu~
January 13th 2012
for: Mr. Ipik Ernaka
hmmm...
ReplyDeletejust 'hmm', tadz? hehe.
ReplyDeletethank you for visiting :)