Malam yang mungkin terlalu sibuk di tempat
orang. Mungkin, masih ada sekeluarga yang menunggu midnight sale di mal
sambil makan malam di restoran ramen terkenal. Biasanya sekeluarga ini punya
mata sipit-sipit. Biasanya sekeluarga ini ditemani bibi pembantu berseragam
biru. Mungkin, masih ada sekelompok muda tanggung di jalanan, di jembatan, di
tempat hiburan. Biasanya kelompokan ini punya komposisi pasang-pasangan. Biasanya
kelompokan ini bawa motor per setiap pasangan. Kadang-kadang, ada beberapa yang
tak malu bergandengan, berpelukan, bercumbuan. Dan mungkin, masih ada kuli
panggulan untuk keping-keping baja seberat ratusan hewan. Biasanya pak kuli ini
punya isteri di rumah kelaparan. Biasanya pak kuli ini punya anak yang
ketiduran gara-gara kecapaian menangis minta dibelikan mainan.
Malam yang tidak terlalu sibuk di tempat
kami. Bergemerlapan cahaya lampu kota Tangerang Selatan, tak sempat terbidik
oleh mata kami yang bertempat di pelosok
jauh Serpong. Pun dengan rupa-rupa polah yang tadi tersebut diawal. Cahaya
malam disini, mengandalkan lampu-lampu neon yang dipasang di tiap gedung-gedung
asrama dan gedung-gedung fasilitas lain.
Sementara untuk penerangan sekitaran kampus yang sudah sepi, membumbung lampu
tinggi dan sebaran lampu asma’ul husna dengan nyala tak seberapa.
Malam yang tidak sibuk bagiku di gedung
asarama putri khusus kelas duabelas ini.
Tidak ada tugas untuk jadwal besok. Dan syukur saja, ulangan harian pun sama
nihilnya. Bercakaplah Aku dengan bala remaja putri dari satu kelas yang sama
denganku. Mereka, seperti biasa, bicara soal apa, siapa, dan topik yang
menjadikannya bahan cerita. Mereka, seperti biasa, bicara soal urusan yang
sebenarnya bukan mereka yang punya. Mereka, seperti biasa, bicara soal yang
itu-itu saja. Mereka, berbicara tentang: Cinta.
Bermacam tuturan semakin banjir saja dengan
timpalan-timpalan tanggapan atau rekaman yang dilihatnya waktu lampau dan
mungkin siang tadi di sekolahan. Cerita si Boy yang tertangkap tengah bercengkerama dengan
Mannequin, anak kelas satu yang cantiknya tidak ada yang tidak tahu. Cerita si
Kribo yang katanya semakin mesra dengan mantan rekan satu divisi OSIS sewaktu
masih menjabat organisasi. Cerita si Jegrak yang katanya sudah jadian dari lama
dengan gitaris perempuan dari satu band yang sama dengannya. Dan
tentang cerita mereka sendiri dengan pangerannya yang satu angkatan, angkatan
atas yang sudah mengalumni, dan bahkan adik kelas dibawah kami.
Rata-rata, semua berawal dari kekaguman yang
menumpuk, menggunung, dan menggelembung tiada terkungkung. Dari situlah apa
yang mereka sebut ‘Cinta’, serasa kian memenuhi, menyesaki, dan
mengangan-angani tiap-tiap derap hari. Klise memang. Tapi beberapa contoh lain,
menunjukkan adanya alasan tentang cinta dan mencintai yang tak seragam.
Menunjukkan adanya alasan tentang cinta dan mencintai yang bukan berawal dari
kekaguman dan penyukaan.
Contohnya kisah si Kribo dan si Manis yang
berperawakan mungil, pendek, dan berkulit putih. Roman-romannya, awal kedekatan
mereka berasal dari pertengkaran yang terjadi antara keduanya. Dari situlah
komunikasi yang tidak baik hingga menjadi baik pun terjalin. Dan, resmi menjadi
suka sama suka. Terdengar picisan sekali bagiku. Tapi jelas terjadi di
sekitarku. Jelas menambahi arsip cerita-ceritaku dan teman yang lain.
Ada lagi satu pasang muda-mudi angkatan kami
yang kisahnya sangat sayang dilewatkan. Dari mulai tentang awal kedekatannya, status yang sebenarnya
terjadi, orang ketiga yang menghiasi, berapa lama hubungannya terjalin, siapa
duluan yang mengakui perasaan yang waktu itu tengah menggelayuti, hingga soal
motif salah satunya memacari pujaan hati. Kabar beredar, suka, adalah alasan
mereka saling sama mencintai di tiga bulan pertama kisahnya dimulai. Dan salah
menilai di awal, adalah alasan yang menjadikannya kemudian hambar, hingga
akhirnya kandas dan berbekas misteri penasaran teman-teman. Satu kisah ini
agaknya menjadi bukti tentang alasan manusia mencintai, dan kemudian bisa
berlanjut seperti masih mencintai, tetapi tanpa mengasihi sama sekali.
Malam
ini, segala rupa bahan omongan yang terpaut soal cinta, dituturkan luwes dan
menggelinding bak roda berpelumas. Entah dari yang benar terjadi, gosip dari
antah berantah, hingga dari yang hanya persepsi tanpa jelas bukti. Tidak ada
satu diantaranya yang menggurui. Karena semua berkasta sama, berpengalaman
hampir sama, dan berpengetahuan seminim yang lain dalam hal ini. Di dalam hal
cinta mencintai.
Malam semakin melarutkan bibir-bibir mereka
untuk jauh membicarakan perihal cinta. Semakin malam, semakin seru saja obrolan
yang menggaungi malam ini. Dengan masih dalam topik yang sama, kali ini, mereka
bertukar fikiran tentang rasa sebenarnya mencintai. Saling berbagi tentang efek
dari virus yang mereka namai sebagai “Virus Amora Megalova”. Sebuah nama
cetusan karibku yang kiranya merepresentasikan kabut rasa yang menggema
diantara banyak hati disni. Bahkan, salah satu dari mereka menjadikan sebuah
baris lirik lagu, sebagai referensi defenisi tentang rasanya jatuh cinta. Dan
lirik itu berbunyi: “Dan kupu-kupu menari memenuhi isi perutku...”
Salah satu yang lain berani mengambil
pendapat sendiri tentang rasanya jatuh cinta yang ia alami.
“Jatuh cinta itu ya.... rasanya fly!
Heroin, mungkin. Melayang, abis itu nagih!”. Disusul dengan
bergelak-gelak tawa anak-anak lain. Ternyata, tidak hanya satu. Yang lain
ikut-ikutan tak mau tahu tentang respon yang akan muncul setelahnya dan memilih
mengobralkan definisi tentang rasa jatuh cinta yang dialami masing-masing.
“Pas jatuh cinta, Gue ngerasa ada
angin sayup-sayup masuk ke telinga Gue daaaaaannn..... Ah! Pokoknya
rasanya gitu deh!”
“Pas jatuh cinta mah, Aku
berasa gugup, malu, kayak waktu tuh berhenti gitu aja depan
muka Aku”
“Pas jatuh cinta, apalagi pas
ngeliat dia, rasanya seneng banget! Tapi keburu rikuh
gara-gara deg-degan dan takut ketauan”
Dan, beragam definisi-definisi lain yang
terjelma dari perasaan mereka sebagai fitrah Tuhan yang beruntung sekali mereka
dapatkan. Yang mereka dapatkan. Mereka dapatkan. Merekalah yang mendapatkan.
Sedang Aku?
***
Matahari di Selasa yang tengah kujalani ini
terasa menerik dari biasa. Dengan energi yang terkumpul dirasa minim karena
semalaman tadi dihabiskan dengan obrolan tak karuan, bergontailah kakiku
menapaki jengkal-jengkal paving block dari
ruang kelas Sejarah menuju masjid. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke
arahku dari belakang. Tapi belum mau Aku menoleh padanya.
“Kanya!”. Begitu panggilnya padaku. Suara
yang kukenal sebagai Prita itu kemudian mendekat dan kami pun sudah berjalan
sejajar sekarang. Berbarengan kami menuju masjid untuk melaksanakan solat
dzuhur. Prita, nampak bersemburatan riak bahagia.
“Seneng kenapa nih?”
“Boy, Nya. Tadi dia nanyain tentang
Biologi ke Gue. Ya biasa aja sih. Tapi Gue seneng!”
Aku sedikit mengernyit. Memikirkan segala
dampak yang akan terjadi jika mengutarakan tanggapan “A”, tanggapan “B”, atau
apabila Aku hanya diam saja tanpa menanggapinya.
“Kok Lo nggak nanggepin, Nya?”
Ah, prita! Kamu menangkap kebingunganku
rupanya. Aku pun
membatin.
Untung sekali, sebelum Aku lebih gelagapan
lagi didepannya, langkah kami sepakat terhenti di depan serambi belakang masjid
bertepatan dengan lafalan iqomah yang berkumandang. Sontak, Aku menyeru, “Nanti
aja, Ta. Kayaknya ada yang perlu Gue omongin ke Lo juga,
deh.”
Setengah mengebirit, Aku pergi
meninggalkannya yang sedang berhalangan solat, ke tempat berwudlu. Entahlah.
Entah mimik apa yang tergambar pada wajah Prita sekarang. Mungkin dia hanya
penasaran dengan rikuhku. Tapi Aku, terlalu iba memikirkan bagaimana cara yang
tepat mengatakan padanya bahwa Boy bukan lelaki yang tepat untuk dicintainya.
Bahwa Prita, teman baikku, harus tahu bahwa Boy tidak memilihnya. Ah, Prita!
***
Benar saja. Seperti dugaanku, Prita yang
memang punya penasaran tinggi tak lantas mengartikan kata “Ntar” sebagai
lusa, besok, atau nanti saja sepulang sekolah. Selepas dzikir dan menipisnya
jama’ah dzuhur, ia menghampiriku yang masih lengkap memakai mukena.
“Apa, Nya?” Prita memulai percakapan di
istirahat siang ini. Duduk disampingku dan memasang dudukannya serileks
mungkin.
Aku masih gusar menjawab. Kusembunyikan rasa
ibaku dengan tetap terus berdzikir. Oh Tuhan, haruskah kumengatakannya?
“Kenapa, Nya?” Kali ini dengan suara yang
lebih berat dan seolah bersiap dengan apapun yang akan kukatakan.
“Lo serius tentang Boy?” Pertanyaan
ini justeru membuat lawan bicaraku ini mengulum senyum kecil. Sangat kecil,
mungkin. Tapi masih dapat kulihat.
“Lo udah ngedenger gosip tentang Boy,
Nya?” Sontak pertanyaannya membuatku kaget dan membatu. Diluar perkiraanku,
Prita lebih mengetahui apa yang akan kukatakan padanya.
“Dan sekarang Lo mau wanti-wanti
Gue supaya nggak terlalu berharap? Lo mau ngingetin Gue
‘kan?”
Aku tak punya daya apapun sekarang. Entahlah.
Detik-detik ini sama sekali tak kusukai. Dengan rasa tidak enak yang begitu
tinggi, Aku tetap mencoba menyembunyikan gugup.
“Terus, menurut Lo, Nya?” Ah, Ta!
Sudah tahu Aku rikuh begini, masih saja Kamu bertanya.
“Persis sama apa yang Lo omongin, Ta. Gue Cuma temen Lo, Ta. Gue
tau kalo Lo ngerti kenapa Gue harus ngomong ini ke Lo.”
“Makasih, Nya. Tapi bahkan Gue sendiri
nggak peduli sama Mannequin. ‘Kan Boy punya hak buat suka sama
orang. Kayak Gue yang berani buat suka sama Boy dan ngerasa
berhak buat milikin rasa itu. Gue manusia. Gue juga nggak
tau kenapa Tuhan ngasih rasa ini ke Gue.”
Kini, Aku mulai berani menatap matanya.
Nanarnya bahkan lebih ceria dibanding Aku. Kenapa Aku ini?
“Bukannya lebih wajar kalo Lo cemburu,
Ta?” Aku memberanikan diri menanyakannya. Hening kemudian. Hanya tedengar
lantunan ayat suci dari pojok masjid sebelah sana. Entah sebelah mana.
“Lo sendiri tau apa tentang
suka? Tau apa tentang... Ah! Sebenernya Gue nggak suka nyebut kata dari "C" itu...”
Aku tertegun. Untuk kesekian kalinya
kata-kata Prita menyontakku. Kali ini, dadaku memanas. Seandainya Prita bukan
teman baikku, mungkin perasaan ini dinamakan ‘tersinggung’.
“Apa yang salah sih, Ta kalo Gue
sampe sekarang belum pernah ngerasain suka kayak apa yang Lo
dan temen-temen lain rasain? Gue masih ngerasa normal,
Ta.” Kata-kataku landas begitu saja.
“Emang menurut Lo, Gue nggak normal
kalo misalnya Gue tau orang yang Gue suka jelas-jelas suka
orang lain dan Gue masih biasa aja seolah-olah nggak ada
apa-apa? Gue juga masih ngerasa normal, Nya.”
Lekat-lekat Prita memandang mataku. Mungkin
sekarang ia bisa menangkap mataku yang membasah. Aku membuang muka. Menerawang
dinding kanan masjid.
“Kita nggak salah, Nya. Apa yang salah
kalo Gue tetep seneng bisa dapet kesempatan ngobrol sama Boy
meskipun sebenernya Gue tau dia udah suka sama orang?” Aku
masih saja menerawang. Belum mau melihat wajahnya lagi. Aku tahu bahwa ia pasti
mengerti kalau Aku tidak sedang marah.
“Menurut Lo ‘rasa itu’ fitrah, Ta?”
Aku malah balik bertanya. Wajahku kutundukkan sehabisnya.
“Jelas lah, Nya. ‘Kan Tuhan
yang ngasih. Makanya, Lo yang kasian nggak pernah ngerasain fitrah
itu. Bukan Gue yang perlu dikasihanin. Hahahaha.” Prita terbahak
dibarengi tawaku pula. Ejekannya ampuh mencairkan keheningan percakapan ini.
Aku memukul-mukulnya pelan. Sehabis terkekeh, Aku berucap lagi.
“Gue nggak mau sok’ suci, Ta.
Tapi ‘kan Gue masih punya Allah.”
“Maksudnya?” Prita bertanya tidak mengerti.
“Sejauh ini, belum ada lagi selain Allah dan
keluarga Gue.” Aku berkata mantap.
“Terus, Lo nggak nganggep Gue nih?”
Prita bertanya sambil mendongakkan kepalanya. Sementara Aku tak sanggup
menjawab apapun atas pertanyaannya. Tanpa basa-basi, Aku memeluknya. Hangat.
Mendekap teman terhebatku yang tak lantas diacuhkannya.
Siang ini, kami mengerti banyak makna.
Memahami bermacam rasa walaupun tidak selalu ada alasan mengapa Tuhan
memfitrahkan atau menangguhkan anugerah-Nya. Sementara belum kulepas pelukannya
terhadapku, bel masuk kelas berbunyi nyaring. Namun sekarang, detik ini, suara
bel itu terdengar lebih merdu dari biasa.
Terimakasih, Prita!